Vereenigde Oostindische Compagnie-The Dutch East India Company (VOC)
Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan
Hindia Timur) atau VOC yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 adalah
perusahaan Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di
Asia. Disebut Hindia Timur karena ada pula VWC yang merupakan
perserikatan dagang Hindia Barat. Perusahaan ini dianggap sebagai
perusahaan pertama yang mengeluarkan pembagian saham.
Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah badan dagang saja, tetapi
badan dagang ini istimewa karena didukung oleh negara dan diberi
fasilitas-fasilitas sendiri yang istimewa. Misalkan VOC boleh memiliki
tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain. Bisa dikatakan
VOC adalah negara dalam negara.
VOC terdiri 6 Bagian (Kamers) di Amsterdam, Middelburg (untuk
Zeeland), Enkhuizen, Delft, Hoorn dan Rotterdam. Delegasi dari ruang ini
berkumpul sebagai Heeren XVII (XVII Tuan-Tuan). Kamers menyumbangkan
delegasi ke dalam tujuh belas sesuai dengan proporsi modal yang mereka
bayarkan; delegasi Amsterdam berjumlah delapan.
Di Indonesia VOC memiliki sebutan populer Kompeni atau Kumpeni.
Istilah ini diambil dari kata compagnie dalam nama lengkap perusahaan
tersebut dalam bahasa Belanda.
Era VOC – 1602 – 1799 Vereenigde Oostindische Compagnie
(Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) atau VOC yang didirikan pada
tanggal 20 Maret 1602 adalah perusahaan Belanda yang memiliki monopoli
untuk aktivitas perdagangan di Asia. Disebut Hindia Timur karena ada
pula VWC yang merupakan perserikatan dagang Hindia Barat. Perusahaan ini
dianggap sebagai perusahaan pertama yang mengeluarkan pembagian saham.
Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah badan dagang saja, tetapi
badan dagang ini istimewa karena didukung oleh negara dan diberi
fasilitas-fasilitas sendiri yang istimewa. Misalkan VOC boleh memiliki
tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain. Bisa dikatakan
VOC adalah negara dalam negara.
VOC terdiri 6 Bagian (Kamers) di Amsterdam, Middelburg (untuk
Zeeland), Enkhuizen, Delft, Hoorn dan Rotterdam. Delegasi dari ruang ini
berkumpul sebagai Heeren XVII (XVII Tuan-Tuan). Kamers menyumbangkan
delegasi ke dalam tujuh belas sesuai dengan proporsi modal yang mereka
bayarkan; delegasi Amsterdam berjumlah delapan.
Di Indonesia VOC memiliki sebutan populer Kompeni atau Kumpeni.
Istilah ini diambil dari kata compagnie dalam nama lengkap perusahaan
tersebut dalam bahasa Belanda.

Vasco da Gama
Datangnya orang Eropa melalui jalur laut diawali oleh Vasco da Gama,
yang pada tahun 1497-1498 berhasil berlayar dari Eropa ke India melalui
Semenanjung Harapan (Cape of Good Hope) di ujung selatan Afrika,
sehingga mereka tidak perlu lagi bersaing dengan pedagang-pedagang Timur
Tengah untuk memperoleh akses ke Asia Timur, yang selama ini ditempuh
melalui jalur darat yang sangat berbahaya.
Pada awalnya, tujuan utama bangsa-bangsa Eropa ke Asia Timur dan
Tenggara termasuk ke Nusantara adalah untuk perdagangan, demikian juga
dengan bangsa Belanda. Misi dagang yang kemudian dilanjutkan dengan
politik pemukiman –kolonisasi- dilakukan oleh Belanda dengan
kerajaan-kerajaan di Jawa, Sumatera dan Maluku, sedangkan di Suriname
dan Curaçao, tujuan Belanda sejak awal adalah murni kolonisasi
(pemukiman).
Bangsa Portugis, yang terlebih dahulu datang ke Indonesia sebelum
Belanda, selain di Malakka, memusatkan perhatian mereka di kepulauan
Maluku, yang kaya akan rempah-rempah –komoditi langka dan sangat mahal
di Eropa. Setelah dapat mematahkan perlawanan rakyat Maluku tahun 1511,
Portugis menguasai perdagangan rempah-rempah di kepulauan Maluku selama
sekitar 100 tahun.
Pada akhir abad 16, Inggris dan Belanda
mulai menunjukkan minatnya di wilayah Asia Tenggara dan melakukan
beberapa pelayaran ke wilayah ini, antara lain dilakukan oleh James
Lancaster tahun 1591, dua bersaudara Frederik dan adiknya, Cornelis
de Houtman tahun 1595 dan kemudian tahun 1599, Jacob van Neck tahun
1598.

Cornelis_de_Houtman
Lancaster datang lagi tahun 1601. Ketika de Houtman bersaudara tahun
1596 pertama kali tiba di Banten, mereka disambut dengan sangat ramah,
demikian juga dengan para pedagang lain, yang setelah itu makin banyak
datang ke Jawa, Sumatera dan Maluku.

Sebelum
Belanda membuat Jayakarta/Sunda Kalapa (setelah menduduki Jayakarta,
Belanda kemudian menamakannya Batavia) menjadi pelabuhan yang merupakan
basis perdagangan dan kubu militernya, pelabuhan Banten adalah pelabuhan
internasional yang terbesar di Asia Tenggara dan menjadi pusat
perdagangan antar benua.
Ketika kembali ke Asia Tenggara tahun 1599, Houtman bersaudara
terlibat pertempuran melawan kerajaan Aceh, di mana Cornelis tewas dan
Frederik ditawan, dan setelah dibebaskan tahun 1602, ia kembali ke
Amsterdam. Selama di penjara, ia sempat belajar bahasa Melayu dan
menerbitkan kamus Melayu pertama pada tahun 1603.
Adalah para pedagang Inggris yang memulai mendirikan perusahaan
dagang di Asia pada 31 Desember 1600 yang dinamakan The Britisch East
India Company dan berpusat di Calcutta. Kemudian Belanda menyusul tahun
1602 dan Prancis pun tak mau ketinggalan dan mendirikan French East
India Company tahun 1604.

Pada
20 Maret 1602, para pedagang Belanda mendirikan Verenigde Oost-Indische
Compagnie – VOC (Perkumpulan Dagang India Timur). Di masa itu, terjadi
persaingan sengit di antara negara-negara Eropa, yaitu Portugis, Spanyol
kemudian juga Inggris, Perancis dan Belanda, untuk memperebutkan
hegemoni perdagangan di Asia Timur. Untuk menghadapai masalah ini, oleh
Staaten Generaal di Belanda VOC diberi wewenang memiliki tentara yang
harus mereka biayai sendiri. Selain itu, VOC juga mempunyai hak, atas
nama Pemerintah Belanda –yang waktu itu masih berbentuk Republik- untuk
membuat perjanjian kenegaraan dan menyatakan perang terhadap suatu
negara.
Wewenang ini yang mengakibatkan, bahwa suatu perkumpulan dagang seperti VOC, dapat bertindak seperti layaknya satu negara.
Hak-hak istimewa yang tercantum dalam Oktrooi (Piagam/Charta) tanggal 20 Maret 1602 meliputi:
1. Hak monopoli untuk berdagang dan berlayar di wilayah sebelah
timur Tanjung Harapan dan sebelah barat Selat Magelhaens serta menguasai
perdagangan untuk kepentingan sendiri;

Logo VOC
2. Hak kedaulatan (soevereiniteit) sehingga dapat bertindak layaknya suatu negara untuk:
1. memelihara angkatan perang,
2. memaklumkan perang dan mengadakan perdamaian,
3. merebut dan menduduki daerah-daerah asing di luar Belanda,
4. memerintah daerah-daerah tersebut,
5. menetapkan/mengeluarkan mata-uang sendiri, dan
6. memungut pajak.
Tahun 1603 VOC memperoleh izin di Banten untuk mendirikan kantor
perwakilan, dan pada 1610 Pieter Both diangkat menjadi Gubernur
Jenderal VOC pertama (1610-1614). Sementara itu, Frederik de Houtman
menjadi Gubernur VOC di Ambon (1605 – 1611) dan setelah itu menjadi
Gubernur untuk Maluku (1621 – 1623).

The Dutch and English enclaves at Amboyna (top) and Banda (bottom). 1655 engraving.
Belanda konsisten menggunakan kekuatan bersenjata untuk memuluskan
perdagangannya dan menjalankan taktik divide et impera (memecah-belah
dan kemudian menguasai). Apabila ada konflik internal di satu kerajaan,
atau ada pertikaian antara satu kerajaan dengan kerajaan tetangganya,
Belanda membantu salah satu pihak untuk mengalahkan lawannya, dengan
imbalan yang sangat menguntungkan bagi Belanda, termasuk antara lain
memperoleh sebagian wilayah yang bersama-sama dikalahkan. Dengan tipu
muslihat dan bantuan penguasa setempat, Belanda berhasil mengusir
Portugis dari wilayah yang mereka kuasai di Maluku, yang sangat kaya
akan rempah-rempah, yang mahal harganya di Eropa.

Dutch Batavia in the 17th Century, built in what is now North Jakarta
Jayakarta, Jajahan VOC Pertama
Prasasti Tugu di Museum NasionalBukti tertua mengenai eksistensi
pemukiman penduduk yang sekarang bernama Jakarta adalah Prasasti Tugu
yang tertanam di desa Batu Tumbuh, Jakarta Utara. Prasasti terebut
berkaitan dengan 4 prasasti lain yang berasal dari zaman kerajaan Hindu,
Tarumanegara ketika diperintah oleh Raja Purnawarman. Berdasarkan
Prasasti Kebon Kopi, nama Sunda Kalapa (Sunda Kelapa) sendiri
diperkirakan baru muncul abad sepuluh.
Pemukiman tersebut berkembang menjadi pelabuhan, yang kemudian juga
dikunjungi oleh kapal-kapal dari mancanegara. Hingga kedatangan orang
Portugis, Sunda Kalapa masih di bawah kekuasaan kerajaan Hindu lain,
Pakuan Pajajaran. Sementara itu, Portugis telah berhasil menguasai
Malakka, dan tahun 1522 Gubernur Portugis d’Albuquerque mengirim
utusannya, Enrique Leme yang didampingi oleh Tome Pires untuk menemui
Raja Sangiang Surawisesa. Pada 21 Agustus 1522 ditandatangani perjanjian
persahabatan antara Pajajaran dan Portugis.

Afonso_de_Albuquerque
Diperkirakan, langkah ini diambil oleh Raja Pakuan Pajajaran guna
memperoleh bantuan dari Portugis dalam menghadapi ancaman kerajaan Islam
Demak, yang telah menghancurkan beberapa kerajaan Hindu, termasuk
Majapahit. Namun ternyata perjanjian ini sia-sia saja, karena ketika
diserang oleh Kerajaan Islam Demak, Portugis tidak membantu
mempertahankan Sunda Kalapa.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pelabuhan Sunda Kalapa
diserang oleh tentara Demak yang dipimpin oleh Fatahillah, Panglima
Perang asal Gujarat, India, dan jatuh pada 22 Juni 1527, dan setelah
berhasil direbut, namanyapun diganti menjadi Jayakarta. Setelah
Fatahillah berhasil mengalahkan dan mengislamkan Banten, Jayakarta
berada di bawah kekuasaan Banten, yang kini menjadi kesultanan.
Ironisnya, kini tanggal 22 Juni ditetapkan sebagai hari “kelahiran”
Jakarta. Jelas tanggal ini tidak mencerminkan berdirinya kota Jakarta,
karena dari berbagai prasasti, telah terbukti bahwa Sunda Kalapa telah
ada sejak abad 10. Ironis, karena hari penaklukkan Jakarta yang dipimpin
oleh seorang asing, ditetapkan sebagai hari “kelahiran” Jakarta.

Pusat Kota Batavia Sekarang Museum Batavia/Kota
Pieter Both yang menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama, lebih memilih
Jayakarta sebagai basis administrasi dan perdagangan VOC daripada
pelabuhan Banten, karena pada waktu itu di Banten telah banyak kantor
pusat perdagangan orang-orang Eropa lain seperti Portugis, Spanyol
kemudian juga Inggris, sedangkan Jayakarta/Sunda Kalapa masih merupakan
pelabuhan kecil.
Pada tahun 1611 VOC mendapat izin untuk membangun satu rumah kayu
dengan fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Kemudian mereka
menyewa lahan sekitar 1,5 hektar di dekat muara di tepi bagian timur
Sungai Ciliwung, yang menjadi kompleks perkantoran, gudang dan tempat
tinggal orang Belanda, dan bangunan utamanya dinamakan Nassau Huis.
Ketika Jan Pieterszoon Coen menjadi Gubernur Jenderal (1618 – 1623),
ia mendirikan lagi bangunan serupa Nassau Huis yang dinamakan Mauritius
Huis, dan membangun tembok batu yang tinggi, di mana ditempatkan
beberapa meriam. Tak lama kemudian, ia membangun lagi tembok setinggi 7
meter yang mengelilingi areal yang mereka sewa, sehingga kini
benar-benar merupakan satu benteng yang kokoh, dan mulai mempersiapkan
untuk menguasai Jayakarta. Dari basis benteng ini pada 30 Mei 1619
Belanda menyerang tuan rumah, yang memberi mereka izin untuk berdagang,
dan membumihanguskan keraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk.
Berawal hanya dari bangunan separuh kayu, akhirnya Belanda menguasai
seluruh kota, dan kemudian seluruh Nusantara. Semula Coen ingin
menamakan kota ini sebagai Nieuwe Hollandia, namun de Heeren Seventien
di Belanda memutuskan untuk menamakan kota ini menjadi Batavia, untuk
mengenang bangsa Batavir, yaitu bangsa Germania yang bermukim di tepi
Sungai Rhein yang kini dihuni oleh orang Belanda. Dan nama Batavia ini
digunakan oleh Belanda selama lebih dari 300 tahun.
Dengan demikian, Batavia (Sunda Kalapa, Jayakarta, Jakarta) adalah
jajahan Belanda pertama di Nusantara. Entah sejak kapan, penduduk di
kota Batavia dinamakan –atau menamakan diri- orang Betawi, yang
mengambil nama dari Batavia tersebut. Dilihat dari sejarah dan
asal-usulnya, jelas penamaan ini keliru.
Tanggal 30 Mei 1619 dapat ditetapkan sebagai awal penjajahan Belanda
di bumi Nusantara, yang berakhir tanggal 9 Maret 1942, yaitu dengan
resmi menyerahnya Pemerintah India Belanda kepada Jepang di Kalijati,
Subang, Jawa Barat.
Legalisasi Perbudakan dimulai oleh VOC

Perbudakan
memang telah ada sebelum orang-orang Eropa datang ke Asia
Tenggara, namun di masa VOC, berdasarkan Bataviase Statuten
(Undang-Undang Batavia) tahun 1642, perbudak diresmikan dengan adanya
Undang-Undang Perbudakan.
Sebagian besar perbudakan terjadi di Jawa, namun budak-budak
tersebut berasal dari luar Jawa, yaitu para tawanan dari
daerah-daerah yang ditaklukkan Belanda, seperti dari pulau
Banda tahun 1621, di mana 883 orang (176 orang mati dalam
perjalanan) dibawa ke pulau Jawa dan dijual sebagai budak.
Perdagangan budak di seluruh dunia memang telah terjadi sejak ribuan
tahun lalu, terutama di zaman Romawi. Yang diperdagangkan di
pasar budak adalah rakyat, serdadu, perwira dan bahkan
bangsawan dari negara-negara yang kalah perang dan kemudian
dijual sebagai budak. Selama Perang Salib/Sabil yang
berlangsung sekitar 200 tahun, ratusan ribu orang dari
berbagai etnis yang ditawan, dijual sebagai budak sehingga membanjiri
pasar budak, dan mengakibatkan anjloknya harga budak waktu itu.

Dari
abad 15 sampai akhir abad 19, seiring dengan kolonialisme
negara-negara Eropa terhadap negara-negara atau wilayah yang mereka
duduki di Asia, Afrika dan Amerika, perdagangan budak menjadi
sangat marak, juga terutama untuk benua Amerika, di mana para
penjajah memerlukan tenaga kerja untuk menggarap lahan
pertanian dan perkebunan. Di Amerika Serikat –negara yang
mengklaim sebagai sokoguru demokrasi- perbudakan secara resmi
baru dihapus tahun 1865, namun warga kulit hitam masih harus
menunggu seratus tahun lagi, sampai mereka memperoleh hak
memilih dan dipilih.
Di Afrika, Belanda memiliki 2 portal perdagangan budak. Satu di St.
George d’Elmina, Gold Coast (sekarang Ghana) dan satu lagi di
Pulau Goree, Senegal. Melalui kedua portal tersebut Belanda
membawa budak-budak yang mereka beli dari orang-orang Arab
pedagang budak. Pedagang-pedagang budak orang Arab bekerjasama
dengan orang-orang Afrika menculik warga Afrika dari
desa-desa di pedalaman Afrika -tak pandang bulu, laki-laki,
perempuan dan anak-anak- dan kemudian menjual mereka sebagai
budak.
Selama kurun waktu lebih dari 300 tahun, berjuta-juta orang Afrika
diculik dan kemudian dijual sebagai budak. Sebelum dibawa dengan
kapal ke negara-negara tujuan pembeli, mereka disekap secara
tidak manusiawi dan berjejal-jejal –termasuk anak-anak dan
perempuan- di penjara-penjara, tanpa adanya sinar matahari,
udara dan air bersih. Biasanya sekitar 20% dari budak-budak
tersebut mati di tengah jalan, karena penyakit, mogok makan,
siksaan atau bunuh diri, namun yang dibawa ke benua Amerika,
jumlah yang mati dalam perjalanan mencapai 40-50%.
Selain mengontrak orang-orang Eropa dan pribumi untuk menjadi
serdadu di dinas ketentaraan India-Belanda, juga terdapat
pasukan yang terdiri dari yang dinamakan Belanda Hitam (zwarte
Nederlander), yaitu mantan budak yang dibeli dari Afrika.
Mulai tahun 1830, di Gold Coast (Ghana) Afrika Barat, Belanda membeli
budak-budak, dan melalui St George d’Elmina dibawa ke India
Belanda untuk dijadikan serdadu. Untuk setiap kepala, Belanda
membayar f 100,- kepada Raja Ashanti. Sampai tahun 1872,
jumlah mereka mencapai 3.000 orang dan dikontrak untuk 12
tahun atau lebih. Berdasarkan Nationaliteitsregelingen
(Peraturan Kewarganegaraan), mereka masuk kategori
berkebangsaan Belanda, sehingga mereka dinamakan Belanda Hitam
(zwarte Nederlander). Karena mereka tidak mendapat kesulitan dengan
iklim di Indonesia, mereka menjadi tentara yang tangguh dan
berharga bagi Belanda, dan mereka menerima bayaran sama dengan
tentara Belanda. Namun dari gaji yang diterima, mereka harus
mencicil uang tebusan sebesar f 100,-. Memang orang Belanda
tidak mau rugi, walaupun orang-orang ini telah berjasa bagi
Belanda dalam mempertahankan kekuasaan mereka di India Belanda.
Sebagian besar dari mereka ditempatkan di
Purworejo. Tahun 1950, tersisa sekitar 60 keluarga Indo-Afrika yang dibawa ke Belanda dalam rangka “repatriasi.”
Walaupun kekuasaan dari VOC berpindah kepada Pemerintah
India-Belanda, perdagangan budak berlangsung terus, dan hanya
terhenti selama beberapa tahun ketika Inggris berkuasa di
India-Belanda (The British inter-regnum). Perang koalisi di
Eropa juga berpengaruh terhadap masalah perbudakan di
India-Belanda. Ketika Inggris menaklukkan Belanda dan
mengambil alih kekuasaan di India Belanda tahun 1811, pada tahun 1813
Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles melarang
perdagangan budak. Namun dengan adanya perjanjian perdamaian di
Eropa, kembali membawa perubahan di India Belanda di mana
Belanda “menerima kembali” India-Belanda dari tangan Inggris
pada tahun 1816. Pada tahun itu juga Pemerintah India Belanda
memberlakukan kembali perdagangan budak.
Tahun 1789 tercatat 36.942 budak di Batavia dan sekitarnya.
Tahun 1815 tercatat 23.239 budak, ketika di bawah kekuasaan Inggris.
Tahun 1828 tercatat 6.170 budak.
Tahun 1844 masih terdapat 1.365 budak di Batavia.
Barulah pada 7 Mei 1859 dibuat Undang-Undang untuk menghapus
perbudakan, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1860. Namun ini
tidak segera diberlakukan di seluruh wilayah India-Belanda. Di
Bali pembebasan budak baru berlangsung tahun 1877, dan di
beberapa daerah lain masih lebih belakang dari ini.
Di Belanda sendiri, perbudakan baru secara resmi dihapus pada 1 Juli
1863. Pada bulan Agustus 2001, dalam Konferensi internasional
di Durban, Afrika Selatan, baru beberapa negara Eropa secara
resmi menyampaikan permintaan maaf atas perbudakan tersebut,
namun belum ada satupun negara bekas penjajah yang memberi
kompensasi.
Pembantaian oleh Belanda di Pulau Banda. Hongi Tochten
J.P. CoenTidak lama setelah kedatangan mereka di Maluku, para pedagang
Belanda melakukan cara-cara yang kejam untuk menguasai wilayah yang
sangat banyak memberi kenuntungan bagi mereka, seperti yang dilakukan
oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen terhadap pulau Banda pada
tahun 1621
(lihat: Willard A. Hanna, “Indonesian Banda”, Colonialism
and its Altermath in the Nutmeg Islands, Yayasan Warisan dan Budaya
Banda Neira, Maluku, 1991, Reprint),
Dari Batavia, dia membawa armada yang terdiri dari 13 kapal besar,
tiga kapal pengangkut perlengkapan serta 36 kapal kecil. Pasukannya
terdiri dari 1.655 orang Eropa (150 meninggal dalam perjalanan) dan
diperkuat dengan 250 orang dari garnisun di Banda. Ini adalah kekuatan
terbesar yang dikerahkan Belanda pada waktu itu ke wilayah Maluku,
sehingga tidak diragukan lagi keberhasilannya. 286 orang Jawa dijadikan
pengayuh kapal. Selain itu terdapat 80 – 100 pedagang Jepang; beberapa
diantaranya adalah pendekar Samurai yang kemudian berfungsi sebagai
algojo pemenggal kepala. Ini merupakan kerjasama pertama antara Belanda
dan Jepang dalam penjajahan di Indonesia.

jan_pieterszoon_coen
Dalam waktu singkat, perlawanan rakyat Banda dapat dipatahkan oleh
tentara Belanda. Penduduk kepulauan Banda yang tidak tewas, ditangkap
dan mereka yang tidak mau menyerah kepada Belanda, melompat dari tebing
yang curam di pantai sehingga tewas.
Para pengikut tokoh-tokoh Banda beserta seluruh keluarga mereka
dibawa dengan kapal ke Batavia untuk kemudian dijual sebagai
budak. Jumlah seluruh warga Banda yang dibawa ke Batavia
adalah 883 orang terdiri dari 287 pria, 356 perempuan dan 240
anak-anak. 176 orang meninggal dalam perjalanan. Banyak di
antara mereka yang meninggal karena siksaan, kelaparan atau
penyakit.
Demikianlah
pembantaian massal pertama yang
dilakukan oleh Belanda di Bumi Nusantara. Kekejaman Belanda
tidak terbatas terhadap pribumi di Maluku, melainkan juga
terhadap para pesaing mereka, dalam hal ini orang-orang
Inggris. Persaingan antara Belanda dan Inggris untuk menguasai
rempah-rempah di Maluku mencapai puncaknya pada tahun 1623,
dua tahun setelah pembantaian rakyat Banda, di mana para pedagang
Inggris juga dibantai oleh serdadu bayaran VOC. Para pedagang
Inggris tersebut dibunuh secara kejam oleh Belanda; leher
mereka disembelih seperti anjing, sebagaimana diungkapkan oleh
Laurens van der Post
(lihat: Laurens van der Post: “The Admiral’s Baby”, John Murray, London, 1996):
… It was on Ambon in 1623 that the Dutch slaughtered
the English traders they found there, cutting their throats
like dogs…
Secara perlahan-lahan, Belanda menyingkirkan pesaing-pesaing perdagangan mereka dari Eropa, yaitu
Portugis, Spanyol dan Inggris,
dan dengan demikian berhasil memegang monopoli atas
perdagangan rempah-rempah dari wilayah Maluku ke Eropa. Para
penguasa setempat yang tidak bersedia memenuhi keinginan VOC
disingkirkan dengan segala cara, dan kemudian diganti dengan
Raja, Sultan atau penguasa lain yang patuh kepada Belanda.
Dengan cara ini VOC dapat memaksa penguasa setempat untuk
membuat kebijakan dan peraturan yang sangat menguntungkan VOC, namun
merugikan rakyat setempat. Para penguasa boneka Belanda,
disamping memperoleh “
kekuasaan”, juga mendapat keuntungan materi.

Diederik Durven

Mattheus de Haan
Dengan mereka, VOC membuat perjanjian yang dinamakan “
kontrak extirpatie”,
yaitu menebang dan memusnahkan semua pohon cengkeh dan pala
di wilayahnya, dan tidak mengizinkan rakyat mereka untuk
menanam kembali dan memelihara pohon rempah-rempah tersebut.
Sebagai imbalannya, para penguasa memperoleh uang sebagai
pengganti kerugian yang dinamakan
recognitie-penningen.
Di bawah Gubernur Jenderal
Mattheus de Haan (1725 – 1729) dan kemudian dilanjutkan oleh
Diederik Durven
(1729 – dipecat tahun 1732) dilakukan extirpartie secara
besar-besaran, guna menjaga agar harga rempah-rempah tetap
tinggi. Untuk melaksanakan extirpatie tersebut, setiap tahun VOC
melakukan pelayaran hongi atau “
Hongi tochten”, yaitu armada yang terdiri dari sejumlah kora-kora, kapal tradisional Ternate-Tidore.
Menurut catatan statistik Kompeni, sebagai hasil extirpatie dari
Hongi tochten yang hanya berlangsung satu tahun, yaitu dari 10
Desember 1728 sampai 17 Desember 1729 telah dimusnahkan lebih
dari 96.000 pohon dan dari 14 Juli 1731 sampai 27 Juli 1732
telah habis dimusnahkan 117.000 pohon rempah-rempah di
Pulau-Pulau Makian, Moti, Weda, Maba dan Ternate.
Pembantaian Etnis (Genocide) Tionghoa di Batavia

Kekejaman
bangsa Belanda tidak hanya dirasakan oleh rakyat jajahannya
atau pesaing-pesaing mereka dari Eropa saja, melainkan juga dirasakan
oleh etnis Tionghoa yang ada di Batavia, sebagaimana dilakukan
oleh
Adriaen Valckenier, yang menjadi Gubernur
Jenderal India Belanda dari tahun 1737 – 1741. Selain
melanjutkan budaya korupsi dan penindasan serta eksploitasi
rakyat jajahannya, Valckenier juga menilai, peningkatan yang
sangat pesat jumlah orang Tionghoa yang ada di Batavia telah
menjadi ancaman bagi orang Belanda.
Sebenarnya pada mulanya Belanda mendatangkan orang-orang Tionghoa
dari Tiongkok ke India Belanda terutama untuk menjadi kuli di
perkebunan. Namun banyak dari mereka yang berhasil menjadi
pedagang, pengusaha dan rentenir uang, dengan kedudukan
sebagai lapisan menengah yang berfungsi sebagai perantara
antara orang Eropa dan pribumi.
Sekitar tahun 1690, penguasa VOC mencoba mulai membatasi masuknya
orang Tionghoa ke Batavia/Jawa, namun tidak berhasil, karena
adanya kolusi antara para pengusaha yang terus mendatangkan
kuli dari Tiongkok dan pejabat administrasi VOC yang menerima
suap. Para pengusaha Belanda juga memperoleh manfaat dengan
adanya kuli murah, rajin dan patuh, dibandingkan dengan pribumi
yang sering membangkang, melawan dan bahkan melakukan
pemberontakan.
Namun, lama kelamaan jumlah mereka semakin meningkat dan mencapai
puluhan ribu orang, dan menjelang tahun 1740, separuh penduduk
di Batavia dan sekitarnya adalah orang Tionghoa. Mereka juga
telah menguasai berbagai bidang ekonomi dan usaha, yang menjadi
ancaman bagi orang-orang Belanda dan Eropa lainnya, karena
dengan adanya pesaing etnis Tionghoa, keuntungan mereka
menjadi sangat berkurang. Salah satu bidang usaha yang
dikuasai oleh etnis Tionghoa adalah perkebunan tebu di sekitar
Batavia.
Tahun 1740, pasar gula mengalami kemerosotan karena selain adanya
persaingan dari Brasilia yang menjual gula lebih murah, juga
pasar di Eropa telah jenuh. Puluhan pedagang gula mengalami
kebangkrutan dan harus memberhentikan kuli-kuli mereka dari
Tiongkok. Pengangguran besar-besaran yang mendadak ini
memunculkan kelompok-kelompok yang menjurus kepada gang
(komplotan) kriminal. Gang-gang tersebut juga tidak
segan-segan untuk melakukan tindak kekerasan, sehingga menimbulkan
keresahan di kalangan orang-orang Belanda dan Eropa lainnya.
Para penguasa VOC kemudian mulai mengambil langkah-langkah untuk
mengatasi hal ini, dengan mendeportasi kuli-kuli dari Tiongkok
tersebut ke Ceylon dan Afrika Selatan, yang juga koloni VOC
waktu itu. Deportasi dengan kapal laut ini dimulai pada bulan
Juli 1740. Tak lama setelah dimulainya deportasi kuli-kuli
Tionghoa ke Ceylon, muncul desas-desus, bahwa kuli-kuli itu
dibunuh dan kemudian dilemparkan ke laut. Terpancing dengan
isu tersebut, banyak kuli Tionghoa mempersenjatai diri mereka dan
mulai mengadakan perlawanan, dan bahkan merencanakan akan menyerang
Batavia. Tanggal 8 Oktober malam, suasana di Batavia sangat
mencekam, karena diberitakan, bahwa orang-orang Tionghoa di
dalam kota Batavia akan bergabung dengan warga Tionghoa dari
sekitar Batavia.
Pada 9 Oktober 1740 Gubernur Jenderal Valckenier mengeluarkan
perintah untuk menggeledah 5.000 keluarga Tionghoa yang tinggal
di lingkungan benteng Batavia dan sekitarnya. Namun yang
terjadi dalam 3 hari kemudian adalah pembantaian terhadap
semua orang Tionghoa di Batavia. Setiap orang Tionghoa yang
ditemui langsung dibunuh, dan bahkan yang berada di rumah
sakit juga dibantai (lihat: Vermeulen, J.Th., De Chineezen
Turbulenten te Batavia, 1938).
Georg Bernhard Schwarz, seorang Jerman yang berasal
dari Remstal, dekat Stuttgart, Jerman, pada 1751 dalam tulisan
yang diterbitkan di Heilbronn, Jerman, dengan judul “
Merkwürdigkeiten”
menuturkan pengalamannya ketika ia ikut dalam pembantaian
etnis Tionghoa di Batavia. Ia menuliskan, bahwa ia membunuh
orang Tionghoa beserta seluruh keluarganya di Batavia, yang
adalah tetangganya sendiri, walaupun mereka sebenarnya adalah
kenalan baik dan tidak mempunyai masalah pribadi satu dengan
lainnya. (
lihat: Seemann, Heinrich, Spuren einer Freundschaft.
Deutsch – Indonesische Beziehungen vom 16. bis 19. Jahrhundert.
Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2000).

Diperkirakan
sekitar 24.000 orang etnis Tionghoa yang tewas dibantai oleh
orang-orang Belanda dan Eropa lainnya pada bulan Oktober 1740. Dari
sisa yang hidup, banyak yang melarikan diri ke Jawa Tengah dan
bergabung dengan kelompok pemberontak di bawah pimpinan
Raden Mas Said.
Mereka kemudian menyerang pos pertahanan Belanda di Semarang
dan Rembang. Sebagian lagi melarikan diri ke Kalimantan Barat.
Ini merupakan pembantaian etnis (genocide) terbesar pada waktu itu, dan ketika berita ini sampai di Eropa,
hal ini sangat memalukan bangsa Belanda yang bertepuk dada sebagai penganut ajaran Kristen yang taat,
namun bukan saja melakukan perbudakan, melainkan juga
pembantaian etnis secara massal. Gubernur Jenderal Valckenier
dan Wakil Gubernur Jenderal
Baron von Imhoff
saling menyalahkan atas terjadinya genocide tersebut.
Valckenier sendiri kemudian dipanggil pulang dan meninggal ketika dalam
tahanan. Setelah Valckenier dipanggil pulang tahun 1741,
jabatan Gubernur Jendral untuk sementara dipegang oleh
Johannes Thedens, sebelum diganti oleh
Gustaf Wilhelm Baron van Imhoff (1743 – 1750), yang adalah orang Jerman.
Masalah pembantaian etnis Tionghoa yang sangat mencoreng
wajah Belanda, berhasil ditutup-tutupi dan kemudian hilang begitu saja.
Tak ada satu orang pun dari pelaku pembantaian yang dimajukan
ke pengadilan.
Di Den Haag, Belanda, sejak Januari 2003 International Criminal
Court – ICC (Pengadilan Kejahatan Internasional) memulai
kegiatannya, dan Menlu Belanda waktu itu, van Aartsen
menyatakan, bahwa dengan demikian “
Den Haag is the capital of international justice.” (Den Haag adalah pusat keadilan dunia), karena sebelumnya di Den Haag juga terdapat
Intenational Court of Justice.
Dalam Statuta Roma yang menjadi landasan dari ICC disebutkan,
bahwa kejahatan tertinggi adalah pembantaian etnis
(genocide), dan setelah itu, kejahatan terbesar kedua adalah Kejahatan
Atas Kemanusiaan (crimes against humanity).
Ironis sekali, bahwa di negara yang telah melakukan kejahatan
terbesar, genocide, dan kejahatan atas kemanusiaan, yaitu
perbudakan, pembantaian massal seperti di Sulawesi Selatan dan
Rawagede, menjadi tempat kedudukan lembaga-lembaga peradilan
internasional, dan Menlunya bertepuk dada, seolah-olah tidak
pernah terjadi apa-apa di masa lalu. Satu bangsa yang
mengalami amnesia dan pengingkaran kolektif!
Runtuhnya VOC. Penjajahan Pemerintah Hindia-Belanda
Sejak tahun 1780-an terjadi peningkatan biaya dan menurunnya hasil
penjualan, yang menyebabkan kerugian perusahaan dagang tersebut. Hal ini
disebabkan oleh korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh para
pegawai VOC di Asia Tenggara, dari pejabat rendah hingga pejabat tinggi,
termasuk para residen. Misalnya beberapa residen Belanda memaksa rakyat
untuk menyerahkan hasil produksi kepada mereka dengan harga yang sangat
rendah, dan kemudian dijual lagi kepada VOC melalui kenalan atau
kerabatnya yang menjadi pejabat VOC dengan harga yang sangat tinggi.
Karena korupsi, lemahnya pengawasan administrasi dan kemudian konflik
dengan pemerintah Belanda sehubungan dengan makin berkurangnya
keuntungan yang ditransfer ke Belanda karena dikorupsi oleh para pegawai
VOC di berbagai wilayah, maka kontrak VOC yang jatuh tempo pada 31
Desember 1979 tidak diperpanjang lagi dan secara resmi dibubarkan tahun
1799. Setelah dibubarkan, plesetan VOC menjadi Vergaan Onder Corruptie
(Hancur karena korupsi).
Setelah VOC dibubarkan, daerah-daerah yang telah menjadi kekuasaan
VOC, diambil alih –termasuk utang VOC sebesar 134 juta gulden- oleh
Pemerintah Belanda, sehingga dengan demikian politik kolonial resmi
ditangani sendiri oleh Pemerintah Belanda. Yang menjalankan politik
imperialisme secara sistematis, dengan tujuan menguasai seluruh wilayah,
yang kemudian dijadikan sebagai daerah otonomi yang dinamakan
India-Belanda (Nederlands-Indië) di bawah pimpinan seorang Gubernur
Jenderal.
Gubernur Jenderal VOC terakhir, Pieter Gerardus van Overstraten (1797
– 1799), menjadi Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia-Belanda pertama
(1800 – 1801)